GURU YANG MEMPESONA

GURU YANG MEMPESONA

Secara bahasa, pesona berarti daya tarik atau daya pikat. Memesona berarti sangat menarik perhatian, memukau, atau mengagumkan. Jadi, menjadi guru yang memesona adalah menjadi guru yang—dalam bahasa yang lebih lugas—menakjubkan. Seorang guru yang memesona adalah guru yang mau dan mampu menghidupkan kelas. Dia juga memiliki kepiawaian tingkat tinggi dalam menghangatkan suasana kegiatan belajar-mengajar. Dan, ini yang terpenting, dia senantiasa ingin mendorong, memberikan semangat kepada anak didiknya, serta menjadikan pencarian ilmu itu sebuah kegiatan yang bermakna dan sangat menggairahkan.


Guru yang memesona sangat dibutuhkan pada zaman sekarang. Mungkin, salah satu syarat agar menjadi guru yang memesona adalah kemampuan menciptakan suasana kegiatan belajar yang kreatif, kolaboratif, berpikir kritis, dan komunikatif. Menjadi guru yang memesona bukan sekadar konsep. Ia juga bukan sebentuk pengetahuan yang hanya dipahami dan dikuasai. Ia bukan pengetahuan yang steril. Ia harus menjadi semacam ilmu yang bisa diamalkan dan melekat pada diri, menyatu dan bukan sekadar menjadi rumus yang dihafal.

Menjadi guru yang memesona bukan sekadar konsep. Ia juga bukan sebentuk pengetahuan yang hanya cukup jika sudah dipahami dan dikuasai. Dalam bahasa yang lain, ia bukan pengetahuan yang steril. Ia harus menjadi semacam ilmu yang bisa diamalkan dan terbukti “melekat” pada diri seseorang. “Melekat” di sini berarti bahwa ilmu itu dapat menyatu dengan diri seseorang—bukan sekadar menempel atau menjadi rumus-rumus yang dihafal saja—dan mendorong orang yang memiliki ilmu itu untuk berubah, bersikap, dan bertindak atas dasar konsep yang dikandung sang ilmu


Apa yang akan dilakukan oleh guru yang memesona? Guru yang memesona perlu menjadikan ilmu yang dipelajari di sekolah menjadi ilmu yang memberdayakan, bukan yang memayahkan, atau bahkan, menyiksa. Ilmu yang diajarkan di sekolah harus dapat dikontekstualkan dengan realitas kehidupan. Apa jadinya jika ada ilmu, misalnya, yang tidak bisa dikontekstualkan dengan realitas kehidupan? Ilmu itu harus dipertimbangkan untuk diajarkan di sekolah. Atau, yang agak ekstrem, ilmu itu harus diganti dengan ilmu lain yang lebih relevan.

Dunia yang akan ditinggali anak-anak kita berubah empat kali lebih cepat daripada sekolah-sekolah. kita menyaksikan anak-anak ditarik secara sangat jauh dan dalam ke sebuah dunia-bukan-sekolah yang lebih menarik untuk mereka jalani. Dan dunia-bukan-sekolah itu bernama televisi, game, mall, cafe, konser-konser musik, smartphone, internet, pameran-pameran produk baru nan canggih, dan masih banyak lagi

Mengikuti perkembangan dan perubahan lingkungan yang dahsyat itu, seakan-akan, sekolah-sekolah di masa kini ditantang untuk menjadi pesaing televisi dan kawan-kawannya itu. Apa mungkin sekolah berkompetisi dengan mereka? Apa layak sekolah harus bertanding dengan mereka? Apa sanggup sekolah menghadapi serbuan tak kenal lelah mereka dalam menarik anak-anak untuk lebih mementingkan mereka? Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini tidak harus kita jawab. Akan lebih baik jika kita melontarkan lebih banyak lagi pertanyaan. Apa mungkin sekolah menghindar dari ajang persaingan itu? Apa mungkin sekolah menutup diri dengan kenyataan yang ada itu? Apa mungkin sekolah hanya berdiam diri dan tetap melanjutkan kegiatannya seperti biasa?


“Bumi telah menjadi Venus,” kata salah seorang pakar marketing, “Dunia Venus adalah dunia yang lebih emosional dan interaktif. Di dunia itu, EQ lebih unggul ketimbang IQ atau, dalam bahasa yang lain feel lebih penting dari think. Sehingga untuk dapat memenangkan persaingan di Venus, harus lebih banyak bermain di context (how to offer). Content (what to offer) yang bagus adalah suatu keharusan. Namun, content yang bagus tidaklah cukup. Content hanyalah ‘tiket’ untuk masuk ke arena persaingan, bukan untuk memenangkan persaingan. Context-lah ‘tiket’ Anda untuk memenangkan persaingan di Venus.”

Karena “tiket” memenangkan persaingan terletak pada context bukan content, pertanyaananya apakah sekolah harus merubah content ?. Meski tidak terlalu dratis dalam perubahan tesebut sekolah harus bisa menyesuaikan kondisi. Karena di dunia sekarang, mengandalkan content yang baik tidaklah cukup. Context yang terkait dengan sekolahlah yang harus terus-menerus berubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman


Di dalam buku Quantum Learning tidak temui content sekolah, seperti pembahasan akan materi pelajaran matematika, bahasa, kimia, fisika, geografi, atau yang lain. Quantum Learning lebih berbicara soal context, yaitu bagaimana membuat kegiatan belajar itu nyaman (bebas stres) dan menyenangkan. Mungkin inilah titik penting yang harus kita pahami terkait dengan urgennya “menjadi guru yang memesona”. Siapa saja yang ingin “menjadi guru yang memesona” layak untuk membuat kegiatan belajar-mengajar bisa lebih menarik daripada acara-acara di televisi atau pentas musik, atau game-game, atau hal-hal lain yang ditampilkan oleh dunia-bukan-sekolah. Setelah fokus pada context, “guru yang memesona” perlu menjadikan content (ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah) menjadi ilmu yang memberdayakan, bukan yang memayahkan atau bahkan menyiksa

Agar ilmu yang di ajarkan itu menyenangkan maka harus bisa menyentuh sampai pada emosional. Untuk mengetahui apakah sudah menyentuh emosional atau belum, seorang guru sebelum mengajar harus lah mengecek apakah ilmu yang akan diajarkannya itu telah mampu membangkitkan motivasi dirinya untuk mengajar secara habis-habisan dan sungguh-sungguh atau tidak? Apakah ilmu itu memotivasi dirinya untuk tampil bersemangat dan bergairah di depan kelas? Dan apakah ilmu yang akan diajarkannya itu benar-benar sudah “melekat”, menyatu dengan dirinya, dalam bentuk pengalaman menerapkan berkali-kali secara konkret? ,dan apakah ilmu itu juga membuat dirinya peduli kepada orang lain? Apakah ilmu itu, selain bermanfaat bagi dirinya sendiri juga bermanfaat untuk orang lain? Apakah ilmu itu bersifat sosial?


Untuk merealisasikan pembelajaran yang sampai menyentuh emosional, sehingga seorang guru dapat di katakan “menjadi guru yang mempesona” maka seorang guru perlu memperkaya dirinya dengan pengetahuan. Untuk menjadi kaya akan pengetahuan atau wawasan, guru, mau tak mau, setidaknya harus memiliki keterampilan tinggi dalam membaca dan menulis (“mengikat makna”). Hanya dengan menjalankan secara kontinu dan konsisten kegiatan membaca dan menulislah seorang guru bisa bisa selalu berjalan seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman dan tidak akan tertinggal.

Kegiatan membaca saja memang penting. Namun, hanya menjalankan kegiatan membaca di tengah perubahan zaman yang sangat pesat seperti sekarang ini tidaklah cukup. Kegiatan membaca harus didampingi oleh kegiatan menulis atau “mengikat”. Jika terlalu banyak yang dibaca dan terlalu banyak juga yang ingin dipahami, seseorang akan bingung dan akhirnya tenggelam dengan pelbagai data dan fakta ”mati” yang dibaca dan ingin dipahami itu


Kegiatan menulis atau “mengikat” akan dapat membantu seseorang untuk memilih mana materi yang penting dan berharga untuk diolah, disimpan, dan dikonstruksi, serta ”dihidupkan”. Kegiatan menulis akan membantu seseorang untuk menghasilkan secara konkret kegiatan membaca.

Menulis akan membantu seseorang bukan hanya menyimpan sesuatu tetapi juga menyusunnya secara rapi agar apa yang disimpan itu dapat dipanggil kembali dan didistribusikan menjadi sesuatu yang bercahaya

Kompetensi Guru sangat diperlukan di samping kualifikasi, namun kompetensi tidak selalu menjamin anak terpesona. Sosok guru yang memesona bukan karena penampilan, tetapi ada perasaan yakin pada anak bahwa segala persoalannya dapat diselesaikan oleh guru itu. Berpenampilan sederhana, penuh nuansa kearifan, guru yang memesona menumbuhkan keyakinan anak semua masalah dapat diselesaikan tanpa harus mengurai atau menjelaskan terlebih dahulu.


Sebuah pesona terpancar dari guru secara alami. Pesona mengandung arti memiliki daya tarik atau daya pikat. Dengan demikian, guru yang memesona adalah dia yang menarik perhatian, memukau, mengagumkan atau menakjubkan. Seorang guru yang memesona adalah sosok yang mau dan mampu menghidupkan kelas. Dia juga memiliki kepiawaian dalam menghangatkan suasana kegiatan belajar-mengajar.

“Selamat menjadi guru yang mempesona”

Sumber : https://www.gurusiana.id/read/rgantyosuhartono043611/article/guru-yang-mempesona-1249919#:~:text=Dengan%20demikian%2C%20guru%20yang%20memesona,menghangatkan%20suasana%20kegiatan%20belajar%2Dmengajar.