Beberapa Kesalahan dalam Mendidik Anak

Beberapa Kesalahan dalam Mendidik Anak

 Oleh: Bisri Mustofa, S.Sos, M.I.P

Penyuluh Sosial Muda pada Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta

  

Orang tua yang akrab dengan kata-kata, Udah diam! Jangan nakal dong! Jangan nangis terus! Dimarahin pak polisi lho nanti! Kalau nangis terus ntar diambil hantu lho! Diam! Tuh, ada suara kuntilanak,” berarti telah melakukan kesalahan besar dalam mendidik anak. Anak dianggap sebagai makhluk tak berdaya yang dengan ancaman seperti kata-kata itu diharapkan anak dapat berperilaku sesuai kehendak orang tuanya.

 

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan kekerasan, ia belajar untuk melawan

Sebaliknya,

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

 

Jika mau jujur, banyak sekali kesalahan yang dilakukan orang tua dalam mendidik buah hatinya. Sarwono (2020) mengemukakan bahwa ada 20 kesalahan orang tua dalam mendidik anak.

Pertama, menumbuhkan rasa takut dan minder. Sebagai contoh, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar berhenti menangis. Kita takuti mereka dengan adanya hantu, jin, suara angin dan lain-lain yang akan mengambil anak yang suka menangis. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut. Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Ketakutan tersebut akan mendarah daging pada anak sampai dewasa.

Tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Tindakan tersebut mengakibatkan anak tidak mempunyai rasa percaya diri. Walaupun setelah dewasa dia tahu bahwa hantu itu tidak ada, akan tetapi dia akan tetap ketakutan apabila mendengar kata hantu.

Ketika anak belum berhasil menyelesaikan tugas atau pekerjaannya, kita sering membandingkan dengan anak-anak lain. ”Temanmu saja sudah selesai, kenapa kamu lambat sekali, dasar memang anak bodoh!” Kata-kata inilah yang mengakibatkan anak tidak percaya diri alias minder.

Kedua, anak sombong dianggap sebagai pemberani. Berani bukanlah bersikap sombong dan semena-mena dengan orang lain. Dengan bangga seorang ibu berkisah tentang anaknya, ”Anak saya dah berani ngomong ke temannya kalau dia anak seorang pejabat, makanya temannya pada takut.” Kebanggaan tersebut mengandung kesombongan dan dapat menjadi bumerang bagi anaknya.

Sikap berani yang sesungguhnya adalah keberanian mengatakan kebenaran. Kalau ada temannya melakukan kesalahan maka dia akan mengingatkan. Kalau orang tuanya masih melakukan pekerjaannya padahal telah masuk waktu shalat, maka dia berani mengingatkan bapaknya. Adapun sikap takut adalah apabila melakukan kebohongan dan dosa, karena di mana pun seseorang berada dia tidak akan lepas dari penglihatan Allah SWT.

Ketiga, membiasakan anak hidup foya-foya dan mewah. Dengan kebiasaan ini, anak tumbuh menjadi pribadi yang suka kemewahan, suka bersenang-senang, hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap istiqamah menghindari ketergantungan pada dunia, membinasakan harga diri dan kebenaran.

Hidup dalam kemewahan akan membunuh rasa simpati dan empati terhadap sesama. Rasa sosial akan terkikis. Yang dia tahu bahwa dirinya serba kecukupan. Ketika melihat orang lain berada dalam kekurangan dan membutuhkan bantuan, dia akan bersikap acuh tak acuh. Mungkin dengan berkata, “Salah sendiri miskin, kaya dong seperti aku.”

Keempat, selalu memenuhi permintaan anak. Tidak setiap yang diinginkan anak itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Kewajiban orang tua adalah memenuhi kebutuhan anak, bukan keinginannya. Kebutuhan pasti bermanfaat bagi dirinya, sedangkan keinginan boleh jadi hanya sesaat dan tidak ada gunanya. Artinya, pemberian orang tua terhadap anak harus dengan memperhatikan baik buruk dari pemenuhan permintaan itu.

Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaannya maka dia akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Dia akan menjadi pribadi yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik. Untuk itu, anak harus selalu diajari bersyukur dan menerima apa yang ada.

Anak yang terlalu dimanja dan dituruti segala kemauan dan kebutuhannya akan menjadi anak yang lemah, egois, impulsif (melakukan sesuatu tanpa perhitungan) dan tidak bisa memperhatikan kepentingan orang lain. Karena terbiasa menerima apa pun yang dia inginkan, anak tidak bisa berinteraksi dengan baik kepada orang lain. Dia tidak bisa berusaha memperjuangkan sendiri apa yang menjadi keinginannya, dan ini akan terbawa hingga mereka dewasa kelak.

Kelima, menerima ”senjata” menangis untuk memenuhi keinginan anak. Apabila setiap tangisan anak sebagai senjata agar permintaannya dipenuhi selalu dituruti orang tua, maka dapat berakibat anak menjadi lemah, cengeng dan tidak punya jati diri. Jangan hanya berdasarkan kasihan, semua keinginan dipenuhi.

Anak akan menggunakan senjata itu untuk memperoleh apa pun yang diinginkan. Kalau orang tua tidak dapat memberikan pengertian yang masuk akal kepada anak, maka perilaku tersebut akan selalu dilakukan. Parahnya, anak akan menangis ke orang lain yang dirasa iba kepadanya dan memenuhi keinginannya, apabila orang tuanya tidak mengabulkan. Kalau perilaku ini tidak dicegah sedini mungkin, bisa jadi akan membahayakan di kemudian hari.

Keenam, terlalu keras dan kaku dalam menghadapi anak, bahkan melebihi batas kewajaran. Kekerasan yang dilakukan dapat berupa fisik ataupun psikis. Fisik dengan menampar, memukul, menendang, dan segala perbuatan yang menyakiti fisiknya. Adapun psikis dapat berupa ejekan, hinaan, sindiran, bentakan, dan cara keras lainnya yang dapat menyakiti hatinya.

Dalam menghadapi kesalahan anak, orang tua tidak boleh langsung menghukum dengan kekerasan fisik ataupun psikis. Alangkah lebih baiknya apabila dicari dulu penyebab anak melakukan kesalahan. Siapa tahu mernang belum tahu, atau mungkin sengaja tapi hanya coba-coba.

Ketujuh, terlalu pelit kepada anak. Hemat dan perhitungan boleh, tapi terlalu pelit membuat anak merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Dengan perasaan tersebut, akan mendorong anak memenuhi kebutuhannya dengan cara yang tidak benar. Dapat saja dia menghalalkan segala cara untuk meraih yang diinginkannya. Dari sekadar untuk memenuhi apa yang dia inginkan, dapat berkembang menjadi tabiat, dan hal tersebut sangat merugikan anak.

Orang tua harus dapat memahami secara seimbang semua kebutuhan anak dan bagaimana cara memenuhinya. Terlalu pelit merugikan, terlalu boros juga tidak baik bagi pendidikan anak.

Kedelapan, tidak memberikan kasih sayang sepenuh hati. Perhatian orang tua yang kurang dapat membuat anak mencari kasih sayang di luar keluarganya. Masih beruntung kalau dia memperoleh kasih sayang dari temannya yang baik, akan tetapi kalau tidak, maka anak akan terpengaruh sikap dan perilaku negatif dari pelariannya.

Akibat kurangnya kasih sayang keluarga maka anak berusaha berontak dan merasa dikucilkan dari keluarga sendiri. Kondisi tersebut mengakibatkan anak mempunyai perilaku rendah diri dan tidak mempunyai kepercayaan terhadap dirinya. Untuk itu, sesibuk apa pun orang tua harus meluangkan waktu bersama anaknya untuk menumpahkan kasih sayang.

Kesembilan, hanya memperhatikan kebutuhan jasmaninya saja. Banyak orang tua merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus, dan sekolah yang berkualitas. Dengan begitu mereka mengira telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Padahal, selain kebutuhan jasmani, rohani juga mesti diperhatikan. Harus ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa bahwa anak tidak cukup hanya diberi materi. Anak-anak juga menghajatkan perhatian dan kasih sayang. Justru kasih sayang inilah yang akan membentuk karakter positifnya di kemudian hari.

Kesepuluh, terlalu berprasangka baik kepada anak. Kesalahan orang tua adalah menganggap baik kepada anak-anaknya. Mereka menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya. Padahal, bisa jadi dan diamnya anak kita, ternyata ada suatu penyakit yang berbahaya atau tertekan oleh masalah dengan teman mainnya dan sebagainya.

Terlalu berprasangka baik juga tidak tepat, terlalu berprasangka buruk juga tidak sehat. Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, maka diperlukan kewaspadaan orang tua setiap saat. Yang paling tepat adalah tidak terlalu berprasangka buruk, juga tidak terlalu berprasangka baik.

Kesebelas, anak melakukan kesalahan atau berperilaku buruk, tetapi dibiarkan oleh orang tua. Terkadang orang tua merasa tidak tega atau terlalu lemah dalam mendidik anak, sehingga membiarkan perilaku buruk yang dilakukan anak dengan beranggapan, ah...namanya juga masih anak-anak. Sikap semisal ini salah besar. Justru mumpung masih anak-anak, dia harus dibenahi. Anak-anak harus diberi tahu mana yang baik dan tidak baik untuk dilakukan.

Kedualelas, apabila anak berbuat dan berperilaku baik tidak diberi hadiah. Dalam mendidik anak kita mengenal hukuman (punishment) dan hadiah (reward), kalau salah kita berikan sanksi, begitu juga dalam berperilaku baik, hendaknya orang tua memberikan apresiasi dalam bentuk pujian ataupun hadiah berupa ciuman dan pelukan. Sebab, hadiah tidak selalu berbentuk materi, uang, atau barang.

Dengan demikian, mereka akan merasa dihargai. Sekecil apa pun pujian kita, akan memberikan dorongan yang luar biasa kepada anak. Orang tua yang pelit memberikan pujian kepada anak akan menghasilkan anak yang gampang putus asa dan membuatnya enggan berbuat dan berperilaku baik, karena ia beranggapan semua itu sia-sia.

Ketigabelas, anak terlalu banyak dilarang. Memang sebagai orangtua kita merasa cemas akan keselamatan anak-anak. Dan terkadang ini membuat kita menjadi overprotektif. ”Jangan, Nak..nanti jatuh, jangan, Nak..nanti sakit..!” Padahal semua itu belum tentu. Anak yang terlalu banyak dilarang akan menjadi anak yang penakut dan tidak berani bereksplorasi, ia merasa semua yang ada di sekitarnya merupakan ancaman. Eksplorasi sangat dibutuhkan anak dalam perkembangan rnotoriknya. Biarkan anak melakukan eksplorasinya, tugas kita hanyalah mengawasi dan mengarahkan mereka.

Keempatbelas, anak terlalu banyak dituntut. Orang tua yang perfeksionis biasanya selalu menginginkan anaknya selalu bisa dan mampu seperti apa yang mereka harapkan. Sikap tersebut mengakibatkan anak tertekan dan tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dan suatu saat anak bisa menjadi sangat anti terhadap apa yang terlalu kita tuntutkan padanya.

Kelimabelas, anak tidak diberi contoh yang baik. Terkadang kita tidak menyadari bahwa kita juga melakukan kesalahan. Kita melarang anak agar jangan membuang sampah sembarangan, sementara tanpa disadari, kita sendiri melakukannya. Anak merupakan cerminan dari diri kita. Maka dari itu sebagai orang tua berperilakulah yang baik, karena secara tidak langung kita telah mendidik anak kita sendiri. Di sinilah begitu pentingnya keteladanan kita pada buah hati kita.

Keenambelas, melakukan kekerasan fisik terhadap anak ataupun terhadap orang lain di hadapan anak. Kekerasan merupakan momok yang sangat tidak baik bagi perkembangan jiwa anak. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan membawa kebiasaan kekerasannya itu hingga ia dewasa kelak. Mereka akan menjadi pribadi yang tidak percaya diri. Sebenarnya tidak hanya kekerasan fisik saja yang ”haram”disaksikan anak, menyakiti hati orang lain dengan ucapan yang kasar dan keras juga berbahaya apabila disaksikan oleh anak. Untuk itu, sebisa mungkin hindarilah melakukannya di hadapan anak.

Ketujuhbelas, kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada anak tidak cukup. Sesibuk apa pun orang tua seyogyanya harus tetap memberikan kasih sayang dan perhatian dengan porsi yang cukup, tidak kekurangan dan tidak berlebihan. Anak yang kelebihan perhatian dan kasih sayang akan menjadi anak yang manja, kurang berempati, suka pamer, mudah putus asa, dan kurang menghargai apa pun yang menjadi miliknya.

Begitu juga sebaliknya. Anak yang kekurangan perhatian dan kasih sayang akan menjadi anak yang tidak percaya diri, suka berperilaku buruk untuk mencari perhatian, bersikap tak acuh, tidak disiplin, agresif, dan kasar. Bahkan anak merasa dianaktirikan oleh orang tuanya sendiri. Akibatnya dia akan mencari kasih sayang di tempat lain atau temannya dengan melakukan perilaku yang menyimpang.

Kedelapanbelas, tidak ada kekompakan orang tua dalam mendidik anak. Ayah dan ibu harus mempunyai kesepakatan bersama dalam mendidik anak, sehingga tidak ada perbedaan. Perbedaan dalam mendidik anak akan membuat anak bingung dan tidak tahu mana yang benar dan mana salah. Semestinya tidak hanya kedua orang tua yang kompak, akan tetapi semua anggota keluarga yang ikut ”mendidik” secara langsung pada anak, seperti saudaranya, kakek nenek, paman bibi, dan keluarga dekatnya.

Kita sebagai orang tua di rumah sudah kompak dalam mendidik anak, akan tetapi begitu anak liburan di rumah kakeknya selama seminggu maka anak berubah lagi. Itu dikarenakan pola asuh yang diterapkan kakek dan neneknya jauh berbeda dengan kita. Kakeknya sangat memanjakannya dan perlakuan ini membuat anak lebih memilih kakeknya daripada orang tuanya.

Kesembilanbelas, sering menilai buruk dan menjelek­jelekkan anak. Terkadang tanpa disadari kita telah memberikan nilai buruk kepada anak kita. Sebagai contoh, jika anak suatu kali lupa membereskan mainannya setelah bermain, padahal biasanya selalu membereskan, kita langsung marah dan mengatakan, ”Kamu ini memang anak pemalas, tidak pernah mau merapikan mainannya sendiri.” Dengan kata-kata seperti itu, anak merasa tidak dihargai, karena yang kemarin dianggap tidak pernah dilakukan. Menjelek-jelekkan anak di depan orang lain walaupun dengan maksud bercanda juga sangat tidak baik bagi perkembangan anak. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri dan merasa tidak dihargai.

Keduapuluh, mementingkan pendidikan umum, me­ngesampingkan pendidikan agama. Ketika anak mulai sekolah, atau bahkan sebelum sekolah, kita kalang kabut kalau anak belum bisa membaca, menulis, dan menghitung. Kita carikan les privat agar anak dapat membaca, menulis, dan menghitung. Akan tetapi kalau anak tidak dapat membaca huruf Al-Qur’an, misalnya, kita santai-santai saja. ”Ah, nanti juga bisa sendiri.” Setelah sekolah, apabila nilai pelajaran umumnya jelek maka kita memarahi anak. Akan tetapi, ketika nilai agamanya tidak baik, tak pernah kita ributkan.

Padahal, kecerdasan dalam bidang agama atau spiritual sangat penting bagi kehidupan anak kelak. Kita masih ingat, kesuksesan seseorang 80 persennya ditopang oleh kecerdasan emosional (EQ) dan spiritualnya (SQ), bukan kecerdasan intelektualnya (IQ).

Dari keduapuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua tersebut, mungkin kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya. Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan pendidikan anak (parenting), agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Usaha yang kita lakukan dapat berjalan optimal apabila ditopang dengan berdoa memohon kepada Yang Mahakuasa, semoga anak kita menjadi qurrota a’yun di tengah-tengah keluarga.

Pada umumnya, kesalahan terbesar orang tua dalam mendidik anak adalah kesalahan dalam berkomunikasi dengan anak. Komunikasi yang salah meliputi, memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, memberi cap, mengancam, menasihati, membohongi, menghibur, mengkritik, menyindir, dan menganalisis.

Dari berbagai kesalahan mendidik tersebut, kesalahan mendidik anak yang dilakukan orang tua dapat ditarik benang merah meliputi: membiarkan anak melakukan kesalahan/berperilaku buruk, tidak memberikan apresiasi ketika anak berbuat dan berperilaku baik, terlalu banyak melarang anak, terlalu banyak menuntut anak, selalu membantu dan menuruti semua keinginan anak, tidak memberikan contoh yang baik kepada anak, melakukan kekerasan fisik terhadap anak maupun di hadapan anak, tidak memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup, tidak ada kekompakan antara ayah dan ibu dalam mendidik anak, dan selalu menilai buruk dan menjelek-jelekkan anak.

 

Daftar Pustaka

Sarwono, Sarlito Wirawan, 2020, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta, Bulan Bintang.

Mustofa, Bisri, 2017, Mendidik Generasi Berkualitas, Jakarta, Trans Media Abadi.

 

Sumber: https://dinsos.kulonprogokab.go.id/detil/607/beberapa-kesalahan-dalam-mendidik-anak#:~:text=Dari%20berbagai%20kesalahan%20mendidik%20tersebut,terlalu%20banyak%20menuntut%20anak%2C%20selalu